Menyibak Danau “Hidden Gam” dari Letusan Purba di Ranah Minang

Sekitar tiga jam perjalanan dari kota sejuk Bukittinggi terdapat nagari hijau yang menjadi lokasi kaldera hasil erupsi purba Gunung Malintang pada era Kuarter.

Sumatra Barat memiliki bentang alam yang indah dan telah dikenal oleh banyak wisatawan domestik maupun mancanegara terutama untuk wisata danau yang memiliki ciri khas masing-masing. Misalnya Danau Maninjau di Kabupaten Agam, yakni danau vulkanik seluas 94,5 kilometer persegi dan berada di ketinggian 460 meter di atas permukaan laut (mdpl). Danau ini adalah yang kedua terluas di tanah Minangkabau dan terkenal dengan Puncak Lawang serta Kelok 44.

Selanjutnya adalah Danau Kembar, yaitu Danau Diatas dan Danau Dibawah yang berjarak sekitar 300 meter satu dengan lainnya dan terletak di kawasan Bukit Barisan, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Kendati disebut Danau Diatas, tetapi letaknya justru berada di bawah dari Danau Dibawah. Kedua danau ada di ketinggian sekitar 1.566 mdpl. Titik terdalam Danau Diatas yaitu 44 meter, sedangkan Danau Dibawah 309 meter.


Kemudian ada Danau Singkarak yang menjadi ikon Sumbar dan terletak di dua kabupaten, Solok dan Tanah Datar, juga danau terluas kedua di Pulau Sumatra setelah Danau Toba di Sumatra Utara. Luasnya mencapai 107,8 km2 dan titik terdalamnya ada di kedalaman 268 meter. Danau Singkarak berasal dari hasil tektonik yang dipengaruhi oleh Sesar Sumatra dan bagian dari cekungan Singkarak-Solok. Air danaunya juga menjadi sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak.

Selain danau telah dipaparkan tadi, Sumbar masih memiliki sejumlah danau lainnya yang tak kalah indahnya kendati lokasinya tersembunyi di antara belantara hijau hutan hujan tropis Minangkabau. Jika danau-danau tersebut tadi lokasinya mudah dijangkau pengunjung, maka tidak demikian dengan danau tersembunyi yang berikut ini. Perlu perjuangan berat untuk menaklukkan medan ke danau satu ini.

Danau Unik

Namanya Danau Laut Tinggal dan secara administratif menjadi bagian dari Desa Situak Ujung Gading, Kecamatan Lembah Melintang, Kabupaten Pasaman Barat. Sedangkan pengunjung lebih memilih pintu masuk terdekat menuju lokasi danau dari Desa Sitobu, Nagari Rabi Jonggor, Kecamatan Gunung Tuleh yang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara.

Kalau dari sini, jaraknya sekitar 20 kilometer ke Danau Laut Tinggal yang berada di atas ketinggian Gunung Malintang (1.980 mdpl). Oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Gunung Bendera karena sekilas siluetnya seperti bendera berkibar. Kawasan tersebut berada di punggung Pegunungan Bukit Barisan dan masuk ke dalam hutan lindung desa.

Danau Laut Tinggal dapat dicapai dari Kota Bukittinggi selama tiga jam berkendara menuju Kota Simpang Empat, diteruskan ke Desa Paraman Ampalu, Kecamatan Gunung Tuleh menyusuri daerah yang terdapat perkebunan kelapa sawit. Waktu tempuhnya dari Simpang Empat ke Paraman Ampalu sekitar satu jam. Setelahnya, kita kembali melanjutkan ke arah Rabi Jonggor.

Biasanya di Nagari Rabi Jonggor ini pengunjung mulai menyiapkan aneka perbekalan untuk menuju Desa Sitobu sebagai titik awal ke Danau Laut Tinggal. Tidak ada angkutan umum yang melayani rute sejak dari Bukittinggi hingga titik awal ke danau, sehingga sebaiknya para pengunjung membawa kendaraan sendiri atau menyewa.

Mayoritas penduduk Desa Sitobu berasal dari suku Mandailing. Ketika tiba, kita wajib melapor kepada perangkat desa setempat sebelum menuju danau karena belum ada pengelola khusus untuk kawasan Danau Laut Tinggal ini. Perlu persiapan tersendiri sebelum menuju danau di ketinggian desa lantaran rutenya yang sangat menantang, mirip seperti mendaki gunung.

Meski jaraknya 20 km dari Desa Sitobu, namun perlu waktu hampir dua hari untuk mencapai Danau Laut Tinggal. Total lama perjalanan sejak berangkat hingga turun kembali ke desa terdekat umumnya memakan waktu 4-5 hari. Sehingga dibutuhkan kondisi tubuh prima dan setidaknya pernah memiliki pengalaman menjelajah hutan atau mendaki gunung.

Karena itu, wisata seperti ini lebih cocok bagi wisatawan minat khusus penyuka kegiatan di alam terbuka (adventuring), seperti, pendaki gunung dan penjelajah rimba. Tapi bukan berarti masyarakat awam tak bisa mengikuti pelesiran ke Danau Laut Tinggal. Mereka bisa tetap berlibur asalkan didampingi penunjuk jalan yang umumnya berasal dari warga desa dan sudah mengenal sangat baik rutenya. Perjalanan sebaiknya dilakukan berombongan berjumlah 8–10 orang.

Penuh Tantangan

Ada sejumlah aturan yang mesti ditaati oleh pengunjung Danau Laut Tinggal. Mereka wajib membawa tas ransel besar berisi logistik perbekalan, pakaian secukupnya, jas hujan, jaket hangat, obat-obatan, senter, golok, dan alat komunikasi semacam handy talkie.

Jangan lupa pula membawa tenda berkemah, peralatan masak, tongkat mendaki (pole) dan tak kalah penting adalah membawa kantong sampah agar kelestarian lingkungan sekitar tetap terjaga. Empat jam pertama perjalanan, kita banyak ditemani kicau suara aneka burung dan  teriakan khas owa siamang.

Hutan lindung Desa Sitobu banyak dihuni flora langka seperti aneka jenis anggrek hutan, kantong semar (Nepenthes gymnamphora), keluarga paku-pakuan, dan talas raksasa setinggi hampir 2 meter. Selepas berjalan empat jam, kita bersua Desa Simpang Lolo yang berpenghuni satu kepala keluarga saja karena puluhan lainnya terpaksa pindah setelah desa mereka tersapu banjir bandang.

Setelah beristirahat sejenak, perjalanan diteruskan ke daerah bernama Sosopan, jaraknya sekitar 6 km ke depan dan menyusuri tepian sungai kecil, Batang Kanaikan yang beraliran sangat jernih dan banyak terdapat batuan besar seukuran mobil. Saat di Sosopan ini, kita bisa kembali beristirahat atau bermalam karena terdapat pondokan yang ditinggalkan penghuninya.

Uniknya, di tempat ini kita banyak menemukan mata air panas alami. Warna airnya ada yang jernih, sedikit keruh karena mengandung belerang dan saat bertemu di sebuah kolam warnanya dapat berubah menjadi sangat keruh. Sosopan juga menjadi titik terakhir perhentian sebelum ke Danau Laut Tinggal. Masih dibutuhkan perjalanan sekitar 6–7 jam lagi dengan rute makin menanjak.

Terkadang, kita harus berpegangan pada akar atau batang pohon dan jalurnya pun kerap tertutup semak dan pepohonan sehingga dibutuhkan golok untuk menyingkirkannya. Mata kita juga harus jeli melihat tempat tangan berpegang karena banyaknya batang dan akar berduri termasuk rotan. Usai menaklukkan rute menanjak, jalan setapak mulai menurun dan ini menjadi pertanda kita tak lama lagi sampai ke lokasi.

Lelah dua jam menjinakkan rute menuruni lereng curam, perjuangan kita akan terbayarkan karena kaki dapat menjejak di tepian Danau Laut Tinggal yang luasnya sekitar 3 km2. Air di tepian danau jernih dan makin ke tengah warnanya menjadi hijau toska. Suasana alam sekitarnya masih sangat asri diwarnai hijaunya pepohonan tinggi.

Termasuk pandan hutan (Pandanus tectorius) yang pohonnya dapat mencapai tinggi 10–15 meter dan daunnya menjulur sepanjang 1–3 meter. Menurut LAJ Thomson dalam The Traditional Tree Initiative, akar tunjang pandan hutan menjulur keluar dari tanah mirip pohon bakau tetapi bisa mencapai ketinggian 5 meter.

Batang pohonnya sangat besar, berdiameter minimal 80 sentimeter. Kadang, akar udara turut menjulur dari batangnya. Pohon ini dikenal pula dengan nama pandan duri, pandan semak, atau pandan pantai dan mudah ditemui di pesisir atau belantara hutan dekat danau. Masyarakat memanfaatkan daunnya untuk dianyam sebagai tikar, peralatan makan, dan lainnya. Pelepah besarnya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

Kawah Purba

Dua ilmuwan Jerman, Renate Rabenstein dan Herwig Zahorska, pernah menjelajah dan meneliti vegetasi dan kandungan air Danau Laut Tinggal dan merupakan rangkaian penelitian yang mereka lakukan terhadap sekitar 292 danau di kawasan Asia Tenggara di awal tahun 2000. Ada sebanyak 18 dari sekitar 139 danau di tanah air mereka teliti, termasuk delapan danau di Sumatra, salah satunya Danau Laut Tinggal.

Keduanya dibantu oleh 10 pemandu dari warga sekitar dan mereka tinggal di tepian danau selama beberapa hari untuk menyibak potensi danau tersembunyi tersebut. Dalam tayangan video yang diunggah ke platform Youtube, Rabenstein dan Zahorska menunjukkan aktivitas penelitian mereka, seperti mengambil sampel daun, dan tanah.

Rabenstein yang dibantu dua pemandu juga menuju tengah danau yang berdiameter 1 km memakai perahu karet dan mengambil sampel air untuk diteliti. Sulfur yang terkandung sangat tinggi dan airnya tak layak dikonsumsi tubuh manusia. Derajat keasamannya mencapai Ph 2.

“Ini adalah danau kawah hasil letusan purba dan nyaris tak terjamah tangan manusia, kami menyebutnya danau hantu dan berada dalam hutan primer. Tidak ada kehidupan biota di dalam danau yang kedalamannya kami ukur sekitar 62 meter dari bagian tengah danau. Bentuk danau hampir bulat dan sekitar 300 meter di bawah bibir kawah Melintang. Lokasinya kira-kira di ketinggian 1.590 mdpl. Ada air masuk danau meski debitnya kecil,” tulis Rabenstein dalam laporannya yang dimuat di jurnal penelitian Senckenberg Research Institute, 9 Desember 2004.

Pernyataan Rabenstein sejalan dengan keterangan kanal Geoheritage di website Kementerian Energi Sumber Daya Mineral bahwa bentang alam Danau Laut Tinggal merupakan sisa kaldera Gunung Malintang era Kuarter. Bebatuan di sekitar danau berupa andesit dan breksi hasil erupsi purba gunung tersebut. Perbukitan sisi selatan danau sampai ketinggian 1.940 mdpl berupa breksi vulkanik dengan kemiringan curam.

Sementara itu, penelitian lanjutan pernah pula dilakukan oleh 31 peneliti muda dari IPB University. Seperti dikutip dari Antara, mereka adalah peneliti gabungan dari Fakultas Kehutanan, Perikanan dan Ilmu Kelautan, Peternakan, Pertanian, Ekonomi, dan Kedokteran Hewan. Mereka meneliti aspek keanekaragaman hayati, indeks kesesuaian wisata, analisis daerah operasi, dan daya tarik objek wisata alam.

Dalam kegiatan penelitian yang dilakukan selama 11 hari pada Januari 2023 itu, mereka mendapati adanya 55 jenis flora, 13 jenis mamalia termasuk owa siamang sumatra (Symphalangus syndactylus). Menurut Ketua Tim Penelitian IPB University Muchtar Abdul Majid, terdapat pula 25 jenis aviafauna di antaranya satwa terancam punah seperti burung rangkong atau hornbill (Bucerotidae), dan elang ular bido (Spilornis cheela).

Mereka pun merekomendasikan kepada pemerintah kabupaten setempat supaya kawasan Danau Laut Tinggal ini dijadikan objek wisata berwujud ekowisata. Ini dilakukan sambil tetap mempertahankan kelestarian hutan sekitarnya karena masih sangat asri dan terjaga dipadu lokasi danau di ketinggian disertai sensasi perjalanan yang luar biasa. (indonesia.go.id)