Urai Sampahnya, Nikmati Setrumnya

Pemerintah telah mencanangkan pembangunan 12 pembangkit listrik tenaga sampah di 12 kota Indonesia untuk mengurangi gunungan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA).

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, tak akan pernah melupakan sebuah peristiwa kelam 18 tahun silam yang melenyapkan dua kampung tetangga mereka, Cilimus dan Pojok. Kala itu, tepat pukul 02.00 WIB, pada 21 Februari 2005, sewaktu warga Kampung Cilimus dan Pojok sedang terlelap tidur, tiba-tiba terjadi ledakan dahsyat.

Suasana hening dinihari membuat suara ledakan terdengar sampai radius 10 kilometer. Sumber suara berasal dari tempat pembuangan sampah di sekitar lembah hijau Perbukitan Salam, tepat di bawah wilayah kampung adat. Rupanya, ledakan itu berasal dari gas metana yang dihasilkan oleh sampah. Hanya dalam hitungan detik, gunungan sampah setinggi 60 meter dan panjang 200 meter runtuh diikuti suara gemuruh besar.


Ribuan ton sampah bergulung-gulung seperti longsor terjun bebas menutupi apa saja yang menghalangi. Seketika, Kampung Cilimus dan Kampung Pojok lenyap dari peta setelah disapu longsoran sampah, terlebih posisi kedua kampung berada di bawah TPA Leuwigajah, demikian masyarakat mengenalnya. Ratusan warga di kedua kampung itu tak sempat menyelamatkan diri dan terkubur bersama ribuan ton sampah.

Mendiang Itoc Tochija dalam bukunya Tragedi Leuwigajah menuliskan, selama 15 hari masa evakuasi, hanya ditemukan 157 jasad warga dan menyisakan ratusan lainnya dalam status hilang. Peristiwa kelam itu merupakan yang terparah kedua di dunia setelah kejadian serupa di TPA Payatas, Quezon City, Filipina, pada 10 Juli 2000, yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Apa yang terjadi di Leuwigajah itu telah menyadarkan semua pihak, termasuk pemerintah, untuk kian serius menangani masalah sampah. Tepat setahun setelah kejadian kelam di TPA Leuwigajah, yang telah ditutup, pemerintah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Gunungan sampah, selain menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengancam kesehatan, juga menambah produksi gas metana.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga akhir 2022 ada sekitar 68,7 juta ton sampah dihasilkan di Indonesia dan hanya sekitar 65,83 persen yang diangkut ke TPA. Terlebih lagi, dari total sampah nasional, sebanyak 41,27 persen merupakan sisa makanan yang 38,28 persen di antaranya dihasilkan oleh rumah tangga. Pemerintah pun mencari beragam cara untuk mengatasinya.

Metode tumpuk, kumpul, dan buang dalam memperlakukan sampah ke TPA perlahan mulai dikurangi termasuk menjadikan sampah bernilai ekonomi. Salah satu upayanya adalah memanfaatkan sampah untuk dijadikan kompos. Dalam ekonomi sirkuler, sampah-sampah organik menjadi bahan baku utama pembuatan pupuk atau kompos yang diperlukan untuk menyuburkan lahan pertanian dan perkebunan.

Kompos ikut membantu memperbaiki dan memperkuat tekstur dan struktur tanah dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan cadangan air (water holding capacity). Hal itu bisa dilihat pada proses pembentukan pupuk alam berupa humus, terutama di kawasan hutan hujan tropis.

Humus yang berasal dari daun-daun kering dan ranting-ranting lapuk yang jatuh ke tanah jika diurai secara alami oleh mikroorganisme di tanah, maka akan berwarna cokelat kehitaman. Dalam 100 tahun kemudian, akan membentuk lapisan atas tanah yang baru (top soil) setebal kira-kira 1 sentimeter dan lebih subur.

Demikian dikatakan Menteri LHK Siti Nurbaya, ketika mencanangkan Gerakan Nasional Compost Day “Kompos Satu Negeri” di Jakarta, Minggu (26/2/2023). Kegiatan itu merupakan salah satu rangkaian dari HPSN 2023 yang bertema “Tuntas Kelola Sampah untuk Kesejahteraan Masyarakat”. Siti Nurbaya menerangkan, kompos telah dikenal masyarakat selama puluhan tahun dan dipakai secara konvensional di berbagai tempat di desa dan kota.

Sampah sisa makanan, sisa sayuran dan sebagainya dapat dimanfaatkan menjadi pupuk bagi tanaman. Dengan kata lain, aktivitas mengompos sudah ada dan melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemerintah berharap, jika gerakan ini konsisten dilakukan, maka dalam setahun sebanyak 10,92 juta ton sampah tidak dibawa ke TPA.

Sebaliknya, sampah sebanyak itu justru bisa diolah masyarakat sebagai pupuk alami. “Kompos itu mudah dan bermanfaat. Jangan takut untuk mulai mengompos, karena tidak sulit. Yang diperlukan adalah kemauan untuk mencoba,” kata Siti.

Selain itu, pemerintah juga mulai memikirkan cara memanfaatkan gas metana yang merupakan landfill gas agar memiliki nilai ekonomi. Ini lantaran dalam satu ton sampah organik terdapat 50 kilogram gas metana (CH4). Ia memiliki kekuatan 21 kali lebih besar dalam memerangkap panas di atmosfer dibandingkan karbondioksida. Itu membuat gas metana sebagai salah satu penyumbang efek rumah kaca (ERK).

Salah satu pemanfaatan gas metana dijadikan energi listrik dan gas. Hal itu terlihat dari apa yang dilakukan oleh pengelola TPA Seboro di Probolinggo, Jawa Timur, yang memurnikan CH4 untuk dijadikan gas rumah tangga dan ramah lingkungan. Sedangkan sebagai energi listrik, pemerintah sudah mencanangkan pembangunan 12 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Hal tersebut seperti diamanatkan dalam Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Contohnya, dapat dilihat pada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Pembangkit listrik ini kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Badan Riset dan inovasi Nasional (BRIN).

Satu dari dua PLTSa percontohan di Indonesia tersebut telah beroperasi sejak 2019 dengan kapasitas energi listrik yang dihasilkan rata-rata 16,8 megawatt (MW) dan beroperasi selama 24 jam. Dibutuhkan hampir 10 ribu ton sampah supaya PLTSa tetap beroperasi menghasilkan listrik. Sepanjang 2020, dalam 221 hari beroperasi, PLTSa Bantargebang mampu menghasilkan total energi listrik sebesar 783,63 MW jam (MWh).

Bahan baku energi listrik yang dihasilkan PLTSa Bantargebang berasal dari TPA Bantargebang yang merupakan tempat pembuangan akhir sampah masyarakat Jakarta yang lahannya disewa oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari Pemerintah Kota Bekasi. Diharapkan, upaya-upaya ekonomi sirkular serupa berdampak pada makin berkurangnya timbunan sampah, terutama di TPA. (***)

Penulis: Anton Setiawan