Selain mengandung kalsium dan protein, kelor juga mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antifungi, antiinflamasi, antikanker, antiobesitas, dan antikolesterol.
Tanaman kelor yang bernama latin Moringa oleifera Lam mendadak menjadi primadona di kala pandemi. Tanaman berdaun mini itu banyak diburu masyarakat.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), pemerintah provinsi pun mencanangkan gerakan menaman kelor dan mewajibkan masyarakat mengonsumsi. Menyusul, adanya pengetahuan baru bahwa khasiat tanaman itu bagus untuk ibu hamil dan menyusui. Di sana, kelor juga diberikan kepada anak-anak usia sekolah.
Mengingat khasiat daun kelor bagi kesehatan, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pun meminta agar kelor bisa diteliti secara mendalam. Menkes ingin tanaman kelor menjadi obat tradisional khas Indonesia yang bisa menembus pasar global dan menyaingi ginseng khas Korea Selatan.
“Saya pengin mengimbangi seperti ginsengnya Korea, dibikin penelitian yang serius untuk masuk dunia internasional,” katanya seperti dikutip dari laman Sehat Negeriku Kemenkes, Senin (6/2/2023).
Tak hanya sebagai obat-obatan herbal, kelor yang cukup populer di NTT ini juga memiliki potensi untuk menjadi salah satu sumber pangan alternatif. Khususnya untuk pemberantasan masalah kelaparan di daerah terpencil di NTT. Terlebih diketahui kelor memang kaya akan nutrisi.
“Jadi kita akan menjadikan kelor sebagai salah satu makanan tradisional dan herbal Indonesia, kita akan riset secara formal. Kita dukung risetnya supaya bisa diterima di kalangan internasional,” tukas Menkes.
Lantas seajaib apa kelor, hingga dijuluki sebagai ‘the miracle tree’ oleh World Healthy Organization (WHO)? Apa pula yang membuat pemerintah menaruh harap kelor dapat bersaing dengan ginseng Korea? Untuk membuktikan hal tersebut, Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ridwan pun mengungkap sejumlah fakta.
Menurut dia, pohon kelor yang tergolong ke dalam genus Moringaceae diyakini berasal dari kaki bukit Himalaya, meliputi Pakistan, India, Nepal, dan Bangladesh. Kini, tanaman tersebut tersebar luas dan banyak dibudidayakan terutama di wilayah tropis.
Selain diolah sebagai bahan pangan, kelor juga dapat diolah sebagai campuran herbal. Kandungan vitamin dan mineral dalam kelor terbukti mencukupi gizi harian yang dibutuhkan oleh tubuh. Bahkan, kandungan kalsiumnya pun melebihi susu hewani.
“Kandungan kalsium kelor lebih tinggi dibanding tanaman lain. Bahkan, jika dibandingkan dengan susu sapi sekalipun. Padahal selama ini susu sapi dikenal sebagai sumber utama kalsium bagi manusia,” ujar Ridwan, seperti dilansir dari laman BRIN, Kamis (9/3/2023).
Berdasarkan beberapa literatur, Ridwan yang merupakan doktor lulusan Institut Pertanian Bogor itu juga mengungkapkan, susu sapi rata-rata mengandung 143mg/100 gr kalsium, sedangkan kandungan kalsium daun kelor kering dapat mencapai 17 kali lipatnya. Ridwan pernah menganalisis dan membandingkan kandungan kalsium daun kelor dari beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya ada yang mencapai hingga 21 kali lipat, yaitu mencapai 3.000mg/100gr.
Khasiat tinggi yang dimiliki kelor membuat Pemprov NTT mewajibkan masyarakatnya mengonsumsi kelor, khususnya bagi ibu hamil dan menyusui. Tanaman itu juga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sekitar 25%–34%, setara dengan kandungan protein pada kacang-kacangan. Kendati, belum melampaui kandungan protein pada biji kedelai yang mencapai 36 persen.
Kandungan Senyawa Bioaktif
Pada beberapa publikasinya, Ridwan menuturkan, beberapa tahun terakhir, pemanfaatan tanaman kelor meningkat secara signifikan. Baik sebagai bahan makanan, obat-obatan, maupun untuk kosmetika. Kemungkinan, kata dia, hal itu disebabkan oleh bertambahnya pengetahuan kandungan gizi dan potensi farmasi kelor.
Selain mengandung kalsium dan protein, kelor juga mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antifungi, antiinflamasi, antikanker, antiobesitas, dan antikolesterol. Tak hanya itu, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi lain, di antaranya sebagai atraktan (menarik serangga penyerbuk), pelindung dari stres lingkungan, pelindung dari serangan hama atau penyakit (phytoaleksin), pelindung terhadap sinar ultra violet, dan sebagai zat pengatur tumbuh.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang baru-baru ini telah banyak dipelajari dan digunakan dalam bidang kesehatan.
Metode Budi Daya Kelor
Jika ingin membudidayakan kelor, jangan khawatir, karena pembudidayaannya sangat mudah. Memperbanyaknya dapat dilakukan secara vegetatif dengan stek batang dan generatif dengan biji. Baik dengan stek batang dan biji masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Memperbanyak dengan stek batang dapat menghasilkan daun dan buah yang lebih cepat. Namun, dalam usaha budi daya intensif dan luas, pemenuhan kebutuhan batang sebagai bahan stek akan menjadi masalah.
Pasalnya, batang yang digunakan untuk stek dengan probabilitas keberhasilan tinggi harus memenuhi beberapa kriteria. Yakni, batang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, panjang 1 meter, dan diameter 5–10 cm.
Kelemahannya, akar yang terbentuk melalui metode stek tidak terlalu kuat sehingga lebih mudah roboh. Berbeda dengan metode perbanyakan dengan biji yang lebih aplikatif untuk budi daya intensif, karena viabilitas metode biji cukup tinggi. Akar yang akan terbentuk kuat, tidak mudah roboh, dan penanaman lebih mudah.
Untuk masa panen daun juga relatif cepat (mulai 3–4 bulan setelah tanam). Namun, untuk produksi buah membutuhkan waktu cukup lama, yaitu sekitar 1,5-2 tahun, tergantung kondisi lingkungan tumbuhnya.
Perawatan tanaman kelor sebenarnya tidak terlalu susah. Pengairan secukupnya dan jangan sampai tergenang. Jika kelebihan air tanaman kelor sangat rentan terkena penyakit busuk akar. Di Indonesia, distribusi kelor hampir tersebar di seluruh pulau dan memiliki potensi lain yaitu untuk memperoleh variabilitas genotipe unggul dengan produksi biomassa daun dan kandungan flavonoid yang tinggi.
“Saya bersama tim pernah melakukan uji coba penanaman kelor di sepuluh pulau di Indonesia yaitu Sumatra, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dalam polibag berkapasitas 10 kg,” jelas Ridwan.
Hasilnya, peneliti BRIN menemukan, Sumatra merupakan aksesi yang memiliki daun tertinggi dengan produksi biomassa yang dikombinasikan dengan kandungan total flavonoid dan aktivitas antioksidan yang paling tinggi, dibandingkan dengan yang lain. “Aksesi Sumatra direkomendasikan sebagai aksesi yang sangat baik untuk budi daya dengan tujuan menghasilkan flavonoid,” terang Ridwan.
Dengan demikian, sederet bukti telah menunjukkan jika kelor merupakan tanaman ajaib dan mampu bersaing dengan ginseng yang telah mendunia. Gerakan mengkonsumsi kelor kiranya perlu didukung, karena dapat menjadi alternatif upaya swasembada pangan secara mandiri.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto