Kopiah Resam, Kerajinan Ramah Lingkungan Khas Bangka

Masyarakat Bangka Belitung pernah memberikan cendera mata kopiah resam kepada para peserta salah satu rangkaian Presidensi G20.

Beragamnya suku yang mendiami 38 provinsi di tanah air telah memberi sumbangsih besar dalam memperkaya khasanah budaya dan tradisi Nusantara. Setiap suku tentu memiliki adat istiadatnya masing-masing, yang terkadang tak dijumpai di daerah lainnya. Mereka pun sangat dekat dengan alam dan tak jarang membuat benda-benda untuk membantu kebutuhan sehari-hari dari bahan yang diambil di alam bebas.

Misalnya, tas noken yang merupakan kerajinan khas masyarakat Papua. Dibuat dari serat kulit kayu, tas itu berguna untuk membawa hasil bumi yang hendak dijual ke pasar atau sebagai tas belanja. Begitu pula baju kulit kayu, salah satu ciri khas masyarakat suku Dayak di Kalimantan.


Nah, masyarakat di Bangka Belitung pun memiliki tradisi memanfaatkan bahan dari alam untuk dijadikan songkok atau kopiah. Kopiah sendiri merupakan salah satu warisan budaya takbenda di provinsi berjuluk Serumpun Sebalai itu sejak 2015.

Penutup kepala yang biasa dipakai kaum adam untuk salat dan pelengkap saat acara adat sepertiĀ Sepintu Sedulang,Ā Rebo Kasan, danĀ NganggungĀ tersebut berasal dari resam (Dicranopteris linearis). Seperti dikutip dari website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, resam merupakan tanaman dari keluarga paku-pakuan atau pakis (Pteridophyta).

Habitat resam adalah daerah tebing bersuhu lembab di kawasan perbukitan berketinggian 200-1.200 meter di atas permukaan laut. Ia dapat tumbuh hingga mencapai 1,5 meter dan paku-pakuan ini acap tumbuh melilit pada batang pohon lain serta bercabang.

Rimpang atau akar resam berbentuk umbi yang tumbuh di dekat permukaan tanah dan memiliki batang keras serta berongga. Ciri khas daunnya menyirip berjajar dua dan tangkainya bercabang mendua. Pada bagian bawah daun ada stomata berwujud bintik-bintik yang berfungsi sebagai alat penapasan.

Resam dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dan subtropis, tersebar di Asia dan Pasifik. Kendati dikenal sebagai gulma atau pengganggu, resam pun dapat berfungsi sebagai tanaman obat.

Seperti disebutkan di dalam website Yayasan Kehati, resam dapat mengobati luka, sebagai obat batuk, obat infeksi saluran kencing, dan pemecah bisul. Tumbuhan ini kendati bersifat invasif dan mampu mendominasi permukaan tanah, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman lain. Pada kenyataannya, resam justru memberi manfaat lantaran mampu menyuburkan tanah dan menyerap racun di sekitar tempatnya tumbuh serta dapat dijadikan tanaman hias.

Bagi masyarakat suku Ketapik yang mendiami kawasan Desa Dendang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, resam mendapat tempat spesial karena bisa bernilai ekonomi tinggi. Lewat tangan-tangan terampil dan kreatif penduduk desa salah satu subsuku Melayu tersebut, resam dibuat naik kelas sebagai anyaman pembuat kopiah unik ramah lingkungan dan dalam perkembangannya juga dapat dibuat cincin atau gelang.

Turun-Temurun

Tradisi membuat kopiah resam sudah diwariskan turun-temurun oleh para leluhur Desa Dendang. Hampir semua warga, khususnya kaum hawa, mampu membuat kopiah resam.

Proses membuat kopiah resam tergolong sulit dan menguras waktu, meski harga jualnya pun cukup tinggi, yakni berkisar Rp100 ribu hingga jutaan rupiah per songkok tergantung kualitas produk, kasar atau halus.

Tanaman resam sendiri tak sulit untuk mencarinya karena banyak ditemui di hutan-hutan sekunder Bangka Barat, perkebunan sawit, atau di sekitar kebun warga. Namun, tak semua resam dapat dianyam sebagai kopiah. Hanya batang resam tua yang memenuhi syarat karena lebih kuat dan lentur dianyam untuk menghasilkan sebuah kopiah berkualitas.

Caranya, kulit luar batang resam dikupas untuk diambil seratnya dan yang terbaik untuk dianyam ada di lapisan ketiga kulitnya dengan warna cokelat. Selanjutnya, serat-serat resam direndam ke dalam air selama tiga hari supaya lebih lentur. Angkat dan tiriskan untuk selanjutnya dijemur hingga kering. Setelah benar-benar kering, serat resam diserut memakai alat sederhana berupa tutup kaleng yang dilubangi kecil-kecil.

Nantinya, serat hasil serutan tersebut akan membentuk semacam benang kaku dan siap untuk dianyam mengikuti pola kopiah yang berbentuk lonjong. Umumnya pola atau cetakan songkok terbuat dari kayu. Supaya warna serat lebih terlihat, umumnya perajin akan merendamnya di dalam air rebusan kulit kayu semak (Syzygium muelleri) hingga berwarna cokelat keemasan dan segera diangkat untuk dikeringkan.

Proses penganyaman hingga selesai dan menciptakan sebuah songkok bisa berlangsung antara seminggu sampai tiga bulan. Semua bergantung dari tingkat kehalusan produk, karena makin halus tentu saja harganya makin mahal. Oh iya, sekadar gambaran, untuk menghasilkan kopiah bertekstur kasar hanya dibutuhkan waktu paling lama satu minggu.

Tetapi jika menginginkan kopiah bertekstur halus, maka proses pengerjaannya bisa mencapai tiga bulan. Agar ada variasi motif dan warna kopiah, misalnya dipadu warna putih, maka dapat dipakai serat akar pohon sulur. Setelah proses menganyam rampung, pekerjaan berikutnya adalah mengoleskan semacam lilin terbuat dari campuran madu hutan atau minyak kelapa supaya resam terlihat mengkilat dan lebih tahan lama.

Kopiah resam selain dipakai untuk salat lima waktu, juga dikenakan saat lebaran. Pamor kopiah jenis ini sudah melampaui Bangka Belitung dan menjadi oleh-oleh kerajinan khas untuk wisatawan dari provinsi penghasil timah dan lada tersebut. Ketika Pulau Belitung menjadi tuan rumah salah satuĀ eventĀ pendukung Presidensi G20 berupa Development Working Group, pada 8 September 2022, para pesertanya mendapat oleh-oleh kopiah resam dari Penjabat Gubernur Ridwan Djamaluddin.

Terakhir, saat ini bahan baku kopiah di alam liar mulai berkurang karena makin gencarnya pembukaan lahan sawit dan secara tak langsung menghilangkan perlahan habitat resam. Oleh karena itu, perlu disiapkan langkah terpadu agar kopiah resam tidak hanya tinggal nama.

Penulis: Anton Setiawan