Kerja Bersama Mengatasi Ancaman Krisis Air

BMKG mengingatkan pentingnya pemanfaatan teknologi dan membangun ketangguhan nasional demi mengantisipasi ancaman krisis air global.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2021 memperingatkan kepada dunia atas ancaman krisis air global. Mengingat sebagian besar negara di dunia tidak siap menghadapi krisis air, seperti banjir dan juga kekeringan, yang diperkirakan akan memburuk seiring perubahan iklim.

Sementara itu, merujuk laporan World Meteorological Organization atau WMO, jumlah orang dengan akses yang tidak memadai ke air bersih, diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada 2050. Seretnya pasokan air dan ancaman kekeringan tentunya juga turut mendorong memburuknya ketahanan pangan global. Di satu sisi, kebutuhan akan pangan terus meningkat seiring dengan kian bertambahnya jumlah populasi dunia belakangan ini.


Untuk itu pulalah, di tengah krisis air global, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan World Water Forum (WWF) ke-10 pada 3–9 Juni 2024 mengangkat tema “Water for Shared Prosperity”. Tema tersebut sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana ketersediaan air bersih masih menjadi tantangan bagi banyak negara.

Selain memperkuat posisi Indonesia di bidang manajemen sumber daya air, WWF merupakan pertemuan internasional terbesar di bidang air yang membahas pengelolaan sumber daya air melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat.

“Forum ini inklusif melibatkan semua stakeholder komunitas air. Melalui WWF, kita ingin tekankan bahwa water is politics. Air ini bukan hanya urusan technical, tetapi juga politik. Bisa menjadi salah satu platform pengambil keputusan menempatkan air di prioritas yang utama,” ujar Juru Bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Endra S Atmawidjaja, dalam diskusi virtual bertema “Kelestarian Air, Kebutuhan Hidup Bersama” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9), di Jakarta, pada Senin (20/2/2023).

Forum yang diprakarsai oleh World Water Council (WWC) itu diselenggarakan setiap tiga tahun, dan telah berlangsung secara rutin sejak 1997. Melalui forum itu, Indonesia berkomitmen memperkuat kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dalam mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), yaitu terkait hak atas air bersih dan sanitasi.

Adapun kick off gelaran WWF 2024 sudah dilakukan di Jakarta pada 15-16 Februari 2023. Indonesia akan mendorong enam topik pembahasan dalam penyelenggaraan WWF. Dari hasil pembahasan tersebut diharapkan menjadi basis bagi kebijakan tata kelola air. Baik di tingkat nasional, maupun internasional bersama negara-negara anggota.

Seperti topik relasi antara manusia dan lingkungan. Tentang mendorong perilaku manusia tetap bersahabat dengan lingkungan, tidak merusak lingkungan, dan memperbanyak upaya konservasi di lahan-lahan kritis.

Jubir Kementerian PUPR mencontohkan, bencana banjir yang terjadi di wilayah sekitar daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo beberapa bulan lalu merupakan dampak dari relasi manusia dan alam yang tidak harmonis. Meningkatnya urbanisasi membuat lahan-lahan yang seharusnya merupakan daerah aliran sungai menjadi menyusut.

Menyangkut ketahanan suplai air bersih (water security), Indonesia ingin mendorong negara-negara anggota WWF untuk bersama-sama menjaga ketahanan air, ketahanan pangan, jaminan suplai air bersih yang cukup, serta menjaga sanitasi yang layak.

Selanjutnya, mengelola sumber daya air juga bagian dari mengurangi risiko bencana dan konflik antardaerah, negara hingga global. Untuk itu diperlukan kerja sama dalam mengelola hal ini.

Endra Atmawidjaja menyebut contoh Sungai Rhein yang terdapat di Eropa. Hulunya berasal dari pegunungan Alpen di wilayah Graubunden, Swiss. Aliran sungai tersebut membentang luas mulai dari Ceko hingga Jerman. Begitu pula sejumlah sungai besar yang melintasi Tiongkok sampai ke Vietnam. Kondisi serupa juga terjadi di benua Afrika.

Topik lainnya yang perlu dibahas di WWF adalah soal pembiayaan dalam mengelola air ini serta memaksimalkan iptek dan inovasi.

Membangun Infrastruktur

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga mengingatkan pentingnya pemanfaatan teknologi dan membangun ketangguhan nasional menjadi solusi dalam mengantisipasi ancaman krisis air global.

“Pentingnya ketangguhan nasional, karena kita sudah tidak bisa bergantung pada negara lain, negara lain juga mengalami kekeringan. Oleh karena itu kita harus memaksimalkan dan mengoptimalkan sumber daya air yang kita miliki dengan berbagai upaya, di antaranya dengan membangun bendungan, waduk, irigasi, dan sebagainya. Hal ini sangat penting untuk ketahanan iklim (climate resilience) secara nasional,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Menurut Kepala BMKG, ketahanan sumber daya air yang dibangun tersebut akan berdampak pada ketahanan pangan. Pasalnya, hampir merata di seluruh dunia dikhawatirkan akan mengalami krisis pangan. Setelah krisis air, selanjutnya krisis pangan yang diprediksi akan terjadi pada sekitar 2050-an.

Oleh karena itu, Kepala BMKG menyampaikan bahwa solusi dari permasalahan global yang bisa berdampak lokal tersebut haruslah berbasis teknologi (sains based), berbasis data, analisis, dan berbasis prediksi.

Dwikorita mencontohkan, seperti yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, sebagaimana prakiraan BMKG bahwa pada Juni–September 2023, Indonesia akan memasuki musim kemarau.

Menyikapi hasil prediksi itu, BMKG telah berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dan berbagai pihak terkait lainnya. Pihak PUPR sendiri telah merancang adanya sumur-sumur bor tambahan.

Kementerian PUPR juga siap menuntaskan konstruksi 25 bendungan pada tahun ini. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian air bersih, sehingga bisa mengatasi ancaman krisis air bersih di dalam negeri maupun dunia.

Sebagai upaya menjaga kelestarian sumber daya air dan ketahanan pangan, sejak 2014, pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah menginisiasi pembangunan 61 bendungan hingga 2024. Dari jumlah tersebut, saat ini 36 bendungan sudah selesai dan 25 bendungan sisanya sedang dalam tahap konstruksi.

Pihak BMKG bersama KLHK juga telah menyiapkan penerapan teknologi modifikasi cuaca agar bisa menurunkan air hujan yang masih tersisa hingga Mei nanti ke dalam waduk-waduk, tandon-tandon, maupun penampungan air lainnya, serta membasahi lahan-lahan gambut maupun lahan kering lainnya yang berada di wilayah Indonesia. (***)

Penulis: Kristantyo Wisnubroto