Kerja Sama Baru di Atas Hutan Mangrove

Indonesia dan Norwegia kembali merintis kerja sama baru aksi pengurangan emisi karbon melalui skema REDD+. Kali ini dilakukan di hutan mangrove. Kisah kegagalan di masa lalu disisihkan.

Serombongan pejabat tinggi meninjau satu spot rehabilitasi hutan mangrove di Teluk Balikpapan, pada Minggu, 11 September 2022. Lokasinya di muara sungai yang mengalir ke teluk, di kawasan Desa Sotek, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jaraknya sekitar 15 km dari pinggir Kota Balikpapan, dengan lintasan yang menyeberangi perairan selebar teluk.

Rombongan itu sebuah tim komplit. Ada yang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Menteri LHK Profesor Siti Nurbaya menjadi pejabat paling senior di sana. Ia didampingi Wakil Menteri LHK Alue Dohong, Kepala BRGM Hartono, dan sejumlah pejabat eselon satu.


Di antara rombongan ini terselip tamu dari Skandinavia, yakni Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Espen Barth Eide. Kedua kolega itu kemudian bersama-sama mengikuti seremoni penanaman bibit mangrove di area tanah rawa pantai tersebut, diikuti para pejabat lainnya.

“Hari ini kita ada di salah satu spot kerja BRGM, untuk rehabilitasi mangrove yang juga bagian dari upaya kita untuk mengatasi degradasi lahan. Selama di Balikpapan, kita akan berdiskusi tentang rehabilitasi mangrove dan juga tentu tentang Indonesia FOLU Net Sink 2030,” ungkap Menteri Siti.

FOLU Net sink 2030 yang disebut Menteri LHK itu adalah merujuk kepada tata kelola forestry and other land uses (FOLU) yang lestari. Dalam arti, mengurangi kerusakan dan pengalihan fungsi hutan serta menjaga seluruh area vegetasi agar emisi karbon dari kawasan hutan lebih kecil dari serapannya. Dengan demikian, ada net carbon sink dalam kawasan hutan mulai 2030. FOLU Net Sink 2030 itu akan dilakukan dengan atau tanpa kerja sama dengan pihak asing.

Namun, Indonesia tidak menutup kerja sama dengan pihak asing. Maka, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, kedatangan Menteri Espen Barth Eide dan penanaman mangrove hari ini adalah bentuk niat untuk kerja sama baru Norwegia dan Indonesia dalam bidang iklim dan lingkungan. Khususnya, melalui skema Reducing Emissions fron Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

Usai turut melakukan penanaman mangrove, Menteri Espen Barth Eide mengaku senang bisa hadir di Desa Sotek, sebagai simbol untuk kerja sama kuat dan solid Indonesia dengan Norwegia. “Kami bangga dan sangat menyukai kerja nyata dengan Pemerintah Indonesia. Presiden Joko Widodo dan Menteri Siti yang fokus dalam agenda penyelamatan lingkungan,” tutur Menteri Espen Barth Eide.

Menteri Espen Barth Eide juga menyampaikan, ekosistem mangrove dan areal hutan pada umumnya memiliki peran yang penting bagi dunia. Kawasan hijau itu ialah gudang serapan karbon yang bisa berperan sebagai pengendali dampak perubahan iklim.

Desa Sotek ialah  salah satu wilayah kerja BRGM dalam aksinya melakukan percepatan rehabilitasi mangrove. Tahun 2021, area yang telah direhabilitasi mencapai 65 ha. Ekosistem mangrove di Desa Sotek itu berada dalam Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga rentan mengalami perubahan pemanfaatan.

Pada waktu yang lalu, Mangrove Desa Sotek itu mengalami kerusakan akibat aktivitas penebangan ilegal dan  konversi hutan mangrove menjadi tambak. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan kayu mangrove untuk arang. Praktek itu telah dihentikan. Tahun ini target rehabilitasi mangrove di Desa Sotek direncanakan seluas 20 ha.

Potensi Mangrove

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan mangrove terbesar di dunia. Pada Peta Kehutanan 2021, kawasan mangrove di Indonesia mencapai luasan sebesar 3.364.080 juta ha. Area itu dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu mangrove lebat seluas 3.121.240 ha atau 92,78% , mangrove sedang seluas 188.366 (5,60%), dan mangrove jarang seluas 54.474 ha (1,62%).

Selain kawasan mangrove yang telah existing itu, pemerintah juga telah menghitung potensi area mangrove sebesar 756.183 ha yang terdiri dari area terabrasi 4.129 ha (0,55%), lahan terbuka 55.889 ha (7,39%), mangrove terabrasi 8.200 ha (1,08%), tambak 631.802 ha (83,55%), dan tanah timbul 56.162 ha (7,43%).

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono menyatakan, kedatangan Menteri Lingkungan Hidup dari Kerajaan Norwegia itu menjadi bukti dukungan dari dunia Internasional bagi Indonesia untuk merehabilitasi mangrove. “Rehabilitasi berperan besar guna memulihkan kawasan ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan, sehingga akan dapat menyerap dan menyimpan karbon. Oleh karena itu, ekosistem mangrove memegang peranan kunci dalam pemenuhan target penurunan emisi di Indonesia,” ungkap Hartono seperti dikutip dalam laman Kementerian LHK.

Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi yang sangat penting bagi lingkungan hidup dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Mangrove memberikan pengetahuan dan kesempatan untuk melihat satwa liar. Mangrove juga dapat tumbuh dekat dengan tempat wisata seperti terumbu karang dan pantai berpasir.

Hutan mangrove juga berperan sebagai benteng untuk melindungi pantai dari abrasi, gelombang laut, badai, dan naiknya permukaan laut. Vegetasi pantai ini juga merupakan habitat penting dan tempat berkembang biak ikan dan satwa lainnya.

Mangrove kini diakui sebagai salah satu ekosistem yang paling efektif menangkap, menyerap, dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Hutan bakau itu menyerap karbon dalam proses fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa dan tanah organik yang membuatnya sangat stabil. Bila terjaga, ekosistem mangrove yang terjaga dengan baik dapat menyimpan karbon 3–5 kali lebih banyak dari hutan daratan biasa.

Karbon yang tersimpan dalam ekosistem mangrove Indonesia diperkirakan kini mencapai 3,0 Gton (Giga Ton) CO2 . Adapun karbon yang tersimpan di mangrove dan padang lamun diperkirakan 3,4 Gton CO2e. Jumlah seluruhnya mencakup  17% dari simpanan blue carbon di dunia. Jumlah itu pun masih bisa bertambah.

Kerja Sama Baru

Dengan potensi besar itu tidak heran bila Norwegia tertarik menjajaki kerja sama penurunan emisi. Skemanya adalah REDD+, yakni pihak Indonesia melakukan aksi pencegahan kerusakan hutan serta deforestasi dan mengupayakan pemulihannya. Hasil “plus” di situ adalah serapan karbonnya, yang biasa disebut carbon sink.

Nilai carbon sink itu akan dicatat pada pemenuhan target pengurangan emisi alias nationally determined contribution (NDC). Adapun target NDC Indonesia pada 2030 ialah 29 persen (tanpa bantuan internasional) dan 41 persen bila ada dukungan penuh masyarakat internasional.

Jumlah karbon sink ini bisa dihitung dan dimonetifikasi. Dalam skema ini, Indonesia mendapat rewards dalam bentuk dana tunai, yang nilainya sebanding dengan capaian carbon sink-nya. Selain itu, Indonesia juga mendapat bantuan dalam upaya pencegahan deforestasi dan degradasi kawasan hutan itu. Keuntungan lainnya ada transformasi dari tata kelola hutan yang ekstratif menjadi lestari (sustainable).

Kerja sama REDD+ Indonesia – Norwegia itu pernah dilakukan, berbasis  hutan teristerial (daratan). Namun, kerja sama yang dirintis sejak 2010 itu buyar pada 2021. Persis setahun silam, yakni pada 10 September 2021, secara sepihak Pemerintah RI memutuskan mengakhiri kerja sama itu. Pengakhiran kerja sama  REDD+ tersebut disampaikan melalui Nota Diplomatik kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.

Keputusan itu diambil karena Pemerintah Indonesia menganggap tidak ada kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban Norwegia merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq  pada 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional.

Namun, pemutusan kerja sama REDD+ itu tidak berpengaruh terhadap komitmen Indonesia untuk  pemenuhan target pengurangan emisi. Kesungguhan itu diakui masyarakat internasional termasuk Norwegia. Maka, dengan melupakan dispute pada kasus perjanjian REDD+ sebelumnya, Kerajaan Norwegia pun menawarkan kerja sama baru. Kali ini, REDD+ akan berbasis pada hutan mangrove, bukan hutan teresterial lagi yang kalkulasinya lebih rumit.

Pemerintah Indonesia bisa menerima ajakan kerja sama baru itu. Pasalnya, tanggung jawab dalam mitigasi iklim itu bukan pada masing-masing negara. Semua negara harus bergotong royong secara multilateral. (Putut Trihusodo)