JAKARTA – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pemerintah tidak ingin ada kelompok beragama yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan.
“Mereka warga negara yang harus dilindungi,” ujar Yaqut seperti dikutip Antara, Kamis (24/12/220). Konten ini tampil di bawah judul “Menteri Agama Ingin Afirmasi Hak Beragama Warga Syiah dan Ahmadiyah.”
Konten itu kemudian dikutip sejumlah media arus utama, dengan judul yang tak jauh berbeda. Misalnya “Menteri Agama akan Lindungi Warga Ahmadiyah dan Syiah.”
Kontroversi pun muncul, terutama karena afirmasi (pengakuan/peneguhan) atas warga Syiah dan Ahmadiyah itu bukan pernyataan langsung Yaqut.
Sejatinya persoalan itu disampaikan cendekiawan Prof. Azyumardi Azra secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (15/12/2020).
Sumantri Suwarno, seorang penggiat media sosial menulis, bahwa afirmasi untuk kaum Syiah dan Ahmadiyah adalah pernyataan Azyumardi yang dimintakan tanggapan oleh wartawan ke Menteri Agama.
“Lalu Menag menjawab bahwa semua warga negara berhak mendapat perlindungan, dan perlu dialog untuk menjembatani perbedaan,” tulis Sumantri melalui akun @mantriss.
“Media itu kacau bikin berita, pernyataan afirmasi bukan muncul dari Yaqut C Qoumas. Hal aneh lainnya, berita itu berdasarkan acara LIPI 15 Desember 2020,” timpal Sam Ardi, seorang warganet.
Menurut Ardi, dari tanggal 15 Desember sampai pelantikan itu Yaqut belum jadi menteri. “Kok ga ditanyakan ke Menag yg menjabat saat itu? Jurnalisnya kurang isu?” tulis Ardi via akun @Sam_Ardi.
Ardi melanjutkan, adalah aneh jika sang jurnalis harus menunggu penggantian menteri untuk menanyakan respon atas wacana afirmasi yang diutarakan Prof. Azyumardi.
“Selisih waktunya hampir seminggu sejak acara itu. Jadi ada apa sebenarnya?” tulis Ardi.
Afirmasi justru datang dari Prof. Prof Azyumardi, tulis netizen lain dengan akun @m_abi_h. “Gus Yaqut menanggapi jurnalis. Tampaknya jurnalis media itu kurang isu atau sengaja memainkan isu,” tutur M Abi.
Dalam forum LIPI itu Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra menyarankan agar pemerintah mengafirmasi kelompok minoritas.
“Terutama mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi,” kata Azyumardi.
Azyumardi mencontohkan para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram yang mengalami persekusi oleh kelompok Islam lain.
Kasus intoleran itu, menurutnya, bukan hanya terjadi di kalangan umat Islam, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.
Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. “Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur oleh pemerintah. Bagaimana caranya supaya adil,” katanya.
Contoh, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Aturan itu mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk, bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
“Pendirian rumah ibadah itu dinilai akan sulit dilakukan ketika relasi kekuatan belum merata,” tutur Azyumardi.
Menurutnya, kelompok dengan relasi kekuatan yang minim di suatu lokasi, akan sulit mendapat restu mendirikan tempat ibadah dari kelompok yang punya relasi kekuatan lebih besar. (*)