Kopi Boim Dinikmati Hingga Luar Negeri

Produsen kopi murni yang akrab dipanggil Bang Boim. Foto: Sukron/Wiradesa

DI balik nikmatnya secangkir kopi, ada banyak narasi. Dari bagaimana memilih biji kopi saat pemetikan, perlakuan pascapanen, roasting atau penyangraian, penggilingan, hingga berapa suhu air panas serta berapa menit sebaiknya air panas itu dituangkan setelah air mendidih.

“Jenis kopi masih seperti saat awal belajar meracik kopi, yakni robusta Temanggung. Perlakuan pascapanen juga masih sama, natural,” ucap Aditya Rochim (44), produsen kopi murni yang akrab disapa Bang Boim.

Dikisahkan Boim, dia beroleh biji kopi panenan kakaknya di Temanggung juga mendapat pasokan biji kopi dari sejumlah petani di sana. Biji kopi yang dia pilih disyaratkan dari hasil panen petik merah. Pengolahan pasca panen dipilih cara natural.


Guna mendapatkan karakter kopi murni seperti yang diharapkan, menurut Boim, prosesnya memang panjang. Biji kopi petik merah, mesti dijemur terlebih dahulu sampai kering. Butuh waktu lama bisa sampai satu bulan atau tergantung kondisi cuaca setempat.



Bila menginginkan green bean atau kopi beras, kulit kopi yang telah mengering akibat penjemuran dikupas terlebih dahulu. Tak langsung disimpan, biji kopi kering mesti diangin-anginkan satu-dua hari untuk menghilangkan bau penyimpanan sebelumnya.

“Proses pemetikan, pengeringan sepenuhnya dilakukan petani. Sampai di tangan saya sudah wujud green bean. Bersih siap di-roasting,” kata Boim yang tinggal di Tamantirto RT 06 Dk 9 Kasihan, Bantul.

Dalam beberapa hal, seorang produsen dan peracik kopi dituntut punya feeling kuat. Boim mencontohkan, bagaimana dia memastikan tingkat kekeringan biji kopi sesuai harapan, padahal dirinya tak punya alat ukurnya.

“Dari bunyi gemerisik biji kopi saat biji kopi dijatuhkan dapat menjadi indikator, apakah biji kopi tersebut sudah kering betul atau belum. Bila bunyinya nyaring berarti sudah kering. Bila belum harus dijemur kembali,” ujarnya.

Menjalani produksi kopi sejak 2012, pasang surut bisnis kopi bubuk dialami Boim. Ketika belum punya mesin roasting, peralatan roasting sederhana dengan diputar tangan dan memakai pemanas kompor gas menjadi andalannya. Beruntung ia kini telah memiliki peralatan roasting bermesin sehingga mempercepat proses produksi.

“Mesin roasting buatan lokal sih, pakainya. Menyangrai kopi satu kilogram dulu pakai alat manual butuh waktu satu jam. Pakai mesin dengan pemanas tungku sembur, proses roasting kini selesai dalam 12 menit,” ucapnya. Eksperimen menggunakan alat roasting lain tengah dilakukan pula oleh Boim menggunakan alat menyerupai siwur tanah liat.

Tingkat kematangan kopi level medium to dark dalam proses penyangraian menjadi favorit Boim. Pada level tersebut, akan dihasilkan karakter kopi yang tak terlalu kuat atau pekat. Cocok bagi peminum kopi pemula sekaligus tak ditinggalkan oleh para penyuka kopi berkarakter kuat.

“Di level medium to dark, akan muncul rasa lain selain kopi yakni rasa coklat. Di luar negeri dikenal istilah java mocca,” tutur Boim sembari menyebut, pilihan level dalam roasting serta tingkat kelembutan dalam penggilingan biji kopi selebihnya hanya soal selera. Sedangkan pilihan alat yang dipakai untuk proses roasting, cepat ataupun lambat di samping dipengaruhi selera juga ditentukan oleh kebutuhan produksi.

Guna memenuhi kebutuhan pesanan yang mencapai hampir satu kuintal bubuk kopi di tahun ini, Boim menggunakan alat roasting berkapasitas tiga kilogram. “Kebutuhan tahun ini menurun dibanding 2018. Pada waktu itu setahun memasarkan sekitar 3,2 kuintal,” paparnya.

Dalam hal pemasaran kopi bubuk, kekuatan Boim ada pada jaringan relasi pertemanan didukung kekuatan media sosial. Beberapa artis dan seniman seperti Art Fazil, Rafaat Haji Hamzah, Moh Yunus dari Singapura bahkan politisi Fadli Zon pernah menyambangi kediamannya, sekadar mampir ngopi.

“Minggu atau akhir pekan biasanya ada teman atau tamu yang datang. Untuk mengantisipasi agar tak sampai kehabisan stok, tiap Jumat selalu roasting. Paling sedikit 2,5 kilogram. Pilihan hari Jumat sekaligus untuk memberi kesempatan resting. Gas dari roasted bean akan menguap selama dua hari sehingga saat digiling pada Minggu gas sudah keluar,” beber suami Mirah Maharani ini.

Boim mematok kopi produksinya Rp40 ribu untuk kemasan 200 gram. Selain pesanan relasi dan pelanggan di dalam negeri, melalui informasi yang disebar lewat media sosial kopi Boim telah dikirim memenuhi pesanan sejumlah pelanggan di luar negeri.

Yang menggembirakan, beberapa kafe milik perorangan di Jakarta dan kafe start up di Bali mengundangnya untuk berbagi ilmu tentang kopi. Pernah pula dia diundang khusus sehari oleh satu keluarga di Semarang, hanya untuk mengajari bagaimana cara membikin secangkir kopi yang enak dan nikmat. Boim mengakui dari kegiatan seperti itu dia bertambah kenalan juga beroleh tambahan rezeki. (sukron)