Almarhum Alaluddin
Oleh: Mochamad Husni,
External Relations Manager PT Astra Agro Lestari Tbk
Sulawesi terkenal dengan menu hidangan ikan laut. Mau disup, goreng, bakar, saya sikat sampai tandas. Kalau mendarat di Makassar, atau transit di Palu, atau saat berkeliling-keliling di Pasangkayu, Mamuju hingga Poso dan Morowali, masakan ini tidak pernah saya lewati. Selain segar karena belum lama dipindahkan dari perahu nelayan, ukurannya juga besar-besar. Untuk seporsi makan, seringkali satu ekor ikan harus dipotong menjadi beberapa bagian.
“Usahakan pilih dan makan bagian kepala,” kata Alaluddin suatu ketika kepada saya saat hendak makan siang di Mamuju, Sulawesi Barat. Pesan itu saya turuti. Sampai sekarang.
Ada keyakinan kuat di balik pesan tersebut. Saya memercayainya juga. Padahal, waktu itu, sekitar sembilan tahun lalu, kami baru beberapa kali bertemu. Entah mengapa, saya rasanya sudah merasa sangat dekat. Seperti saudara. Mungkin karena kami punya latar belakang yang terkondisikan untuk saling bekerja sama: Pak Ala, begitu saya biasa menyapanya, jurnalis harian Berita Kota Makassar (BKM) dan saya Public Relations (humas) di PT Astra Agro Lestari Tbk yang beberapa anak perusahaannya juga beroperasi di sana. Kami makin nyambung karena sebelum jadi humas saya berprofesi sama seperti Pak Ala. Sama-sama jurnalis.
Kami juga banyak punya kesamaan prinsip. Terkait profesi kami masing-masing, misalnya. Sebagai jurnalis, Pak Ala sangat mendukung kehadiran investor. Perusahaan-perusahaan yang banyak masuk ke daerahnya, menurutnya, sangat diperlukan untuk pembangunan dan kemajuan kawasan. Karena itu harus didukung. Jurnalis bisa memainkan peran dengan menyebarkan berita positif. Ia bahkan memilih untuk menghindar jika ada yang mengajaknya menyebarkan berita negatif yang berpotensi merugikan pihak tertentu. Ia sadar betul kekuatan dan dampak sebuah berita.
Apakah ia tidak menjalankan fungsi kontrol?
Sebagai jurnalis yang lama malang melintang, tugas itu tetap ia emban. Tapi, Pak Ala bijaksana. Selain cek dan ricek, dengan nuraninya ia memilah mana perusahaan yang harus dikritik melalui tulisan, dan mana yang masih bisa diperbaiki secara lisan. Saya termasuk kategori yang kedua. Beberapa kali kami berdiskusi dan saya beserta teman-teman di perusahaan mendapat masukan berharga supaya perusahaan tempat kami bekerja tidak perlu dikritik melalui berita-berita di koran.
“Saya percaya, Pak Husni,” katanya pada kesempatan lain. Indikatornya sederhana. Pak Ala yang rajin sholat lima waktu ini menilai bahwa saya juga bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah sholat.
Belakangan, saya pikir pernyataannya inilah yang membuat Pak Ala menganggap saya sebagai saudara. Saya tentu senang. Bagi saya, praktisi PR yang baik harusnya adalah profesional yang bisa menggeser hubungan kerja menjadi hubungan pertemanan. Kalau bisa, malah hubungan saya sebagai PR dengan stakeholder lainnya dijadikan hubungan persaudaraan.
Dan memang. Tiap kali berada di Sulawesi, terutama ke Mamuju, saya benar-benar diperlakukan sebagai bagian dari anggota keluarganya. Dengan kendaraan yang dimiliki Pak Ala sering menjemput saya di bandara Tampa Padang, lalu mengantar saya ke sana kemari. Saya pun menyempatkan singgah di rumahnya, bertemu istri dan seorang anaknya di rumahnya. Saya, Pak Ala beserta istrinya bahkan pernah menempuh perjalanan darat bersama selama 12 jam dari rumahnya yang asri di Mamuju ke Makassar.
Layaknya saudara, obrolan kami tidak melulu soal profesi kami di dunia komunikasi. Macam-macam. Termasuk soal peluang bisnis.
Pak Ala memang pekerja yang gigih. Aneka kesibukan pernah ia lakoni. Pernah buka lapak jualan koran, buka bengkel di rumah, dagang es saat jelang buka puasa bulan ramadhan. Ia juga pernah menawari saya untuk jadi pemasok pakaian. Tugas saya, membeli pakaian dan mengirimnya dari Jakarta, dan Pak Ala beserta istrinya bagian menjajakan di Mamuju. Macam-macam idenya.
Di titik ini, saya memahaminya sebagai pribadi yang lebih dari sekadar ulet, tetapi juga kreatif dan penuh semangat. Positif thinking. Termasuk nasehatnya kepada saya agar saat makan ikan saya sebaiknya memilih dan memakan bagian kepala ikan. “Supaya nanti jadi kepala,” katanya santai memberi penjelasan. Waktu itu, saya memang masih staff Public Relations.
Bagi saya, ini adalah doa. Doa baik yang disampaikan orang baik. Doa yang mengalirkan optimisme tentang masa depan. Seperti doa-doa lain yang biasa Pak Ala panjatkan dan aminkan untuk kebaikan saya. Alhamdulillah.
Selasa pagi tadi, 13 Oktober 2020, saya khususkan berdoa untuk Pak Ala. Sahabat saya, saudara saya. Semoga Allah selalu merahmatinya, mengasihinya. Mengampuni dosa-dosanya. Doa yang saya panjatkan setelah seorang teman jurnalis harian Fajar, grup media tempat Pak Ala bekerja, mengabarkan bahwa Pak Ala meninggal dunia.
Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Allahummagfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’ fuanhu.