Oleh: Amir Machmud NS
Wartawan SUARABARU.ID dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah
MENJADI milik siapakah sesungguhnya kebenaran?
Ungkapan tutorial Journalism 101 dari Sally Claire yang hari-hari ini beredar di sejumlah platform media sosial menarik kita simak, “If someone says it’s dry and another person says it’s dry, it’s not your job to quote them both. Your job is to look out of the fucking window and find out which is true”.
“Kebenaran” (dalam tanda kutip) sering diperebutkan oleh perseorangan atau yang merepresentasikan lembaga untuk membangun kepercayaan di ruang publik. Istilah lazim yang kita kenal: menguasai opini publik.
Kebenaran sejati bukan sekadar “kebenaran”. “Kebenaran” merupakan produk penggiringan sudut pandang yang telah terbingkai (framing), kemasan dari pilihan diksi untuk membentuk narasi tertentu, atau produk aransemen kronologi sebuah kejadian. Kita mengenalnya sebagai versi, atau pernyataan yang dijejalkan menurut cara pandang siapa dan untuk apa.
Contoh penjejalan keyakinan lewat penyampaian “kebenaran” itu, misalnya terasa dari pemberitaan insiden tewasnya enam anggota Laskar Pembela Islam (LPI) pengawal Rizieq Shihab, skandal Djoko Tjandra yang melibatkan sejumlah aparat hukum, buron kasus korupsi Harun Masiku, pelaporan sejumlah kasus penistaan para tokoh dan yang bukan tokoh melalui transaksi elektronik, juga “perang persepsi” tentang pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan dan kerumunan massa pada masa pandemi Covid-19.
Contoh-contoh tersebut menjadi bagian dari kemelut informasi publik yang membuat masyarakat bertanya-tanya: apa yang sesungguhnya terjadi, dan informasi mana yang bisa dipercaya?
Media acapkali dihadapkan pada kondisi anomali, dan hanya menyajikan dua sisi informasi (dua versi), tanpa mampu meyakinkan masyarakat mana yang sejatinya benar. Maka yang paling aman ditempuh (terkadang dengan keraguan) lazimnya adalah memuat kedua versi tersebut. Tentu, kecuali apabila media memilih sikap menginvestigasi sendiri duduk perkara isu publik tersebut; yang dalam istilah Sally Claire “melihat lewat jendela untuk menemukan mana yang benar”.
Maka tepatlah ketika Dewan Kehormatan PWI Pusat juga mendorong wartawan menelusuri dan menginvestigasi kasus kematian enam anggota LPI dalam insiden di Km 50 Jalan Tol Jakartta – Cikampek, 7 Desember 2020. Ketua DP Ilham Bintang menilai pernyataan itu perlu untuk mengurangi keraguan wartawan dan media dalam menginvestigasi peristiwa tersebut.
Tugas jurnalistik untuk menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan pada segi-segi tertentu bakal menatap realitas adanya pertarungan kepentingan dalam berebut ruang publik. Yang tersampaikan melalui media mainstream dan media sosial hanya “kebenaran yang sudah diaransemen”.
Hampir di sepanjang 2020, ruang publik dipenuhsesaki oleh berbagai kepentingan yang berebut saling menyampaikan kebenaran menurut versi masing-masing. Tiap pihak menjustifikasi pernyataan dan langkahnya mengatasnamakan tujuan kepentingan rakyat. Perebutan ruang itu diperkuat oleh penggalangan opini masif para buzzer, termasuk dalam memanfaatkan rubrik komentar di portal-portal berita. Konsekuensinya, dalam isu-isu publik tertentu kita makin sulit menyimpulkan mana hal yang benar dan mana hal yang tidak benar.
Altar Suci Kewartawanan
Mari kembali ke kredo “kebenaran jurnalistik”. Di tengah ketidakpastian “kebenaran”, mekanisme standar dalam produksi informasi merupakan altar suci kewartawanan. Inilah mahkota jalan jurnalistik, prosedur yang mutlak harus ditempuh agar produk infiormasi kita tetap berada di jalur akuntabilitas. Moralitas jalan itu merupakan pengejawantahan etika jurnalistik.
Di tengah banalitas pertarungan “kebenaran”, wartawan dan media makin dituntut untuk mampu menyampaikan kebenaran. Secara sederhana, alur mekanisme itu ditempuh melalui proses-proses berjurnalistik yang akuntabel. Sedangkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan diperoleh dari kemauan menjalankan verifikasi secara disiplin terhadap ucapan, pernyataan, dan fakta-fakta. Termasuk memverifikasi cuitan di Twitter, status di Facebook, Instastory di Instagram, juga unggahan-unggahan melalui platform Yutube.
Lewat mekanisme seperti itulah wartawan dan media bisa memberi kontribusi dalam mengawal kebenaran, mengurai keraguan baik di internal media sendiri maupun untuk kepentingan kepublikan.
Sepanjang 2020, sebagai refleksi kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media dihadapkan pada rivalitas kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang membangun opini. Realitasnya, aransemen-aransemen “kebenaran” itu — dalam format mencitrakan dan aksen memojokkan — tak terlepas dari proyeksi kontestasi 2024.
Siapa yang memenangi perebutan “kebenaran”? Mereka yang punya akses ke sumberdaya kekuasaan dan sumberdaya ekonomi kuat? Lalu ke mana hati nurani yang masih tersisa di newsroom media?
Siapa pun yang bisa mengendalikan opini, tentulah tidak serta merta berhak mengklaim kebenaran. Bukankah pada sisi lain masyarakat juga makin kritis dalam menilai kesimpulan, pernyataan, maupun penjejalan opini yang secara masif digiring oleh para buzzer?
Ada titik yang seharusnya disikapi secara kritis. Yakni, seperti apa “status” kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik? Inilah yang seharusnya mendorong media untuk meyakinkan ikhtiar menemukan kebenaran.
Jika hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, media bisa terjebak dalam frame berpikir mereka yang menjejalkan opininya. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang masif menyemburkan pembelaan dan pencitraan kepada pihak tertentu.
Tugas Organisasi Wartawan
Menyampaikan kebenaran dalam isu-isu publik merupakan tugas standar wartawan dan media. Bahkan telah menjadi tugas sejak jurnalisme itu ada. Hanya, realitas proyeksi kontestasi politik, perkembangan teknologi informasi, dan kehendak manusia untuk survive melalui “profesi-profesi seperti buzzer” membentuk dinamika baru dalam pengelolaan penyampaian kebenaran. Keyakinan menyampaikan kebenaran, bukan sekadar “kebenaran”, di dalamnya memuat tanggung jawab etis6 media.
Media harus melakukan cek fakta, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan on the track.
Kemampuan untuk menyampaikan kebenaran, pada sisi lain sering dibayangi oleh ancaman kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Laporan-laporan terjadinya kekerasan dan intimidasi dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” elemen-elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.
PWI, sebagai saah satu organisasi profesi kewartawanan, di semua level kepengurusan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota, dituntut punya ikhtiar sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi anggotanya. Peningkatan profesionalitas itu antara lain ditempuh melalui penyelenggaraan intensif Uji Kompetensi Wartawan (UKW), jaminan advokasi dan perlindungan baik fisik maupun hukum, serta ikhtiar-ikhtiar yang terkait dengan kesejahteraan.
Dengan peta tantangan di tengah bananalitas perebutan ruang publik, kemampuan komprehensif wartawan baik secara teknis maupun etis, tidak bisa lagi ditawar-tawar. Dibutuhkan adaptasi total ke kemampuan dan sikap multiplatform, sehingga makin cerdas membaca kecenderungan perebutan ruang publik yang menggunakan aneka platform media sosial.
Pada 2021 sudah terproyeksikan tugas lanjutan media untuk mengawal isu-isu publik, khususnya di seputar pengendalian pandemi Covid-19. Peliputan akan berfokus pada penggunaan vaksin, keadilan distribusinya, evaluasi pelaksanaannya, perkembangan penanganan pasien positif, disiplin protokol kesehatan, adaptasi perilaku baru, serta pengawalan bantuan sosial yang pada 2020 terbukti diselewengkan.
Fokus liputan itu menuntut intensitas pemosisian wartawan dalam tugas profesinya, yang menggambarkan tanggung jawab sosial untuk bangsa. Menyajikan kebenaran merupakan mahkota profesi ini. (**)