Anehnya, kata dia, pengaruh konservatisme dan radikalisme keagamaan, itu justru kuat di kampus-kampus non-agama seperti IAIN/UIN.
“Pengaruh ide ini juga meluas hingga ke kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta,” tuturnya, seperti dilansir Siberindo.co.
“Cukup mencemaskan,” ujar Ulil, karena bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang digelorakan terus-menerus sebagai unsur penting dasar negara kita.
Ia menambahkan, Ormas Islam yg mendukung penuh politik kebhinnekaan Jokowi selama ini adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Terutama dalam “perjuangan” melawan kelompok-kelompok yang membawa paham radikal dan konservatif itu.
Selama ini, tutur Ulil, ada yg beranggapan bhw dukungan NU atas politik kebhinnekaan Jokowi adalah untuk pamrih politik. Ada peneliti Australia yg berpandangan seperti ini. “Ini jelas keliru,” tegasnya.
Wawasan kebhinnekaan sudah dikembangkan di NU di era Gus Dur, jauh sebelum era Jokowi sekarang, lanjut Ulil.
“Kesadaran tentang membela kaum minoritas sudah dikembangkan sejak berpuluh tahun di NU, minimal sejak Gus Dur menjadi Ketum PBNU pertama kali pada 1984,” jelasnya.
Jadi, kata dia, jangan melihat “politik NU” hanya dari frame waktu yg pendek, yaitu Pilpres 2019 lalu.
Semoga Kemenag di bawah Gus Tutut –sapaan akrab Yaqut Holil Quomas– bisa lebih “nendang” lagi dalam menerjemahkan politik kebhinnekaan Jokowi, tutur Ulil. (*)